Breaking News

Selasa, 18 April 2017

Malpraktek Dalam Dunia Pendidikan, adakah...


SRI MULYANI, S.Pd*

Apa yang ada dalam benak kita ketika mendengar kata malpraktek? Tentu saja kita akan menghubung-hubungkannya dengan pasien yang  lumpuh, terluka, koma, hingga mati karena salah penanganan dari seorang  dokter ataupun pekerja medis.  Apakah malpraktek itu hanya cap yang diberikan pada kesalahan yang dilakukan oleh para dokter atau pekerja medis?
Mengutip dari Black’s Law Dictionary, yang memberikan defenisi tentang malpraktek,
Malpraktek adalah, setiap sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan terhadap sikap tindak dari para dokter, pengacara dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan profesional dan melakukan pada ukuran tingkat keterampilan dan kepandaian yang wajar di dalam masyarakatnya oleh teman sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan atau kerugian pada penerima pelayanan tersebut yang cenderung menaruh kepercayaan terhadap mereka itu. Termasuk di dalamnya setiap sikap tindak profesional yang salah, kekurangan keterampilan yang tidak wajar atau kurang kehati-hatian atau kewajiban hukum, praktek buruk atau ilegal atau sikap immoral.”

“Any professional misconduct, unreasonable lack of skill. This term is usually applied to such conduct by doctors, lawyers, and accountants. Failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those entitled to rely upon them. It is any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or judiciary duties, evil practice, or illegal or immoral conduct.” 

Dari defenisi tersebut  terlihat bahwa malpraktek ternyata bisa terjadi tidak hanya pada dunia kedokteran saja, tetapi juga pada bidang-bidang kerja yang menuntut profesionalisme,  seperti pengacara, akuntan, dan bahkan seorang  guru. Karena Guru sekarang ini sudah merupakan bidang kerja yang menuntut profesionalitas dalam pekerjaannya. Malpraktek dalam dunia pendidikan adalah sebuah kegagalan dalam memberikan pelayanan profesional kepada peserta didik, kurang keterampilan dalam mentransfer ilmu pengetahuan hingga terkesan asal-asalan saja, kurang berhati-hati dalam menjaga sikap baik terhadap peserta didik maupun terhadap teman sejawat.

Malpraktek  dalam dunia pendidikan seringkali juga membawa  korban . Ia bisa berupa korban fisik , psikis, maupun kedua-duanya. Sudah terlalu sering kita menyaksikan  berita yang ditayangkan di media televisi tentang perbuatan tercela yang dilakukan oleh oknum-oknum pendidik di  sebuah sekolah dasar Internasional yang berbuat amoral kepada siswa-siswanya yang tentu saja dapat mengakibatkan trauma berkepanjangan pada diri korban, ataupun kekerasan fisik dalam memberi  hukuman yang terkadang di luar batas kewajaran dan kepatutan, adanya siswa yang membully temannya pada jam pelajaran dikarenakan guru lalai dalam tugasnya di dalam kelas, hingga terjadinya kekerasan fisik  pada masa perploncoan yang dikemas dalam judul  MOS yang sudah banyak memakan korban .  Sungguh prilaku yang ironis dan sangat disesalkan, dimana seharusnya guru menjadi pengayom dan pelindung  anak-anak didiknya dari  ‘kejamnya’ prilaku dunia luar, namun justru oknum tersebutlah yang menjadi biang perusak masa depan anak-anak masa depan kita.

Memang malpraktek dalam dunia pendidikan terkadang  gaungnya tidaklah  sebesar seperti ketika ada pasien yang mati karena salah penanganan medis. Padahal efek yang dihasilkan adalah sama-sama  kerugian yang diterima oleh para peserta didik yang telah memberikan kepercayaan mereka  kepada lembaga pendidikan yang telah dipilihnya. Kerugian itu bisa berupa kerugian moril maupun materil.

Ada juga beberapa bentuk malpraktek lainnya yang mungkin kita sebagai guru menganggap hal itu merupakan sesuatu yang  sederhana, misalnya  guru meninggalkan kelas menjadi kososng pada saat jam pelajaran tanpa adanya pengawasan. Ada juga guru yang menyampaikan konsep yang salah pada peserta didiknya, yang berakibat siswa mengalami ‘misconcept’ atau ‘misunderstanding’ terlebih  lagi jika hal ini terjadi pada  mereka yang berada pada level sekolah dasar yang seharusnya mendapatkan konsep belajar secara benar karena akan dingat terus menerus hingga mereka dewasa.
Mungkin kita pernah melihat atau mengalami sendiri ada beberapa konsep yang salah yang disampaikan oleh guru profesional yang bisa jadi bukan suatu kesengajaan (tapi dalam hal ini berarti guru tersebut kurang meng’up grade’ keilmuannya ) seperti guru bahasa Inggris yang salah dalam mencontohkan pronunciation ataupun salah dalam memberikan defenisi-defenisi  dari istilah yang ada. Ataupun guru PAI yang keliru dalam mengajarkan makhraj huruf Hijaiyah yang notabene bagian dari Alqur’an, penyebutan nama surah yang tidak sesuai dengan kaidah  huruf Arab, kurang menguasai hukum bacaan Alqur’an hingga menyampaikannya pun secara serampangan, hingga perilaku yang kurang sesuai dengan statusnya sebagai guru Agama. Bisa jadi juga seorang guru IPA yang kurang menguasai konsep sains sehingga hanya dapat menyampaikan ilmu pengetahuan sebatas kulitnya saja padahal banyak hal dari kehidupan sehari-hari yang bersinggungan dan dapat dijabarkan dalam sebuah ilmu Sains. Sebenarnya begitu banyak bakat-bakat olahraga yang terpendam pada peserta didik, namun tidak dapat tergali oleh guru yang bersangkutan karena Ia sendiri kurang termotivasi untuk mencari bibit olahragawan di sekolahnya disebabkan mengajar nya  hanya sebatas menggugurkan kewajiban mengajar semata. Masih banyak lagi kejadian-kejadian yang terjadi di seputar dunia pendidikan yang bisa membuat kita hanya bisa menyesali dan menyayangkannya saja.

Sudah saatnya kita, sebagai seorang guru profesional meninggalkan kesalahan-kesalahan atau meminimalisirnya , selalu meng ’up grade’ ilmu yang diampu, banyak membaca tentang perkembangan dunia pendiikan , berkumpul dengan komunitas-komunitas guru yang bisa membawa pencerahan dan juga menambah wawasan berfikir kita sebagai guru yang profesional dalam bidangnya masing-masing. Sehingga kita tidak termasuk guru yang melakukan ‘malpraktek’ yang bisa membuat ‘luka’, kehilangan kesempatan berharga, memberikan kerugian pada para peserta didik kita, melainkan guru yang mampu mencerdaskan peserta didiknya baik cerdas secara  intelektual , emosional , maupun  spiritualnya.

*Penulis adalah salah satu staf pengajar di SMP Negeri  2 Matan Hilir Selatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed Template By Blogger Templates - Powered by Sagusablog